Pengalaman hidup saya yang akan dipenghujung kepala empat ini, implementasi judul di atas dalam kehidupan nyatalah tidak gampang, kalau tidak mau ditulis sangat sulit. Tiap kita pasti punya salah dan tidak sempurna, itu kita semua mafhum. Tapi perkara mau mengakui salah dan kekurangan, sering kali enggak nyambung sama kemafhuman tadi. Di satu sisi kita paham bahwa kita adalah manusia yang tak kan pernah luput dari salah, tapi sisi lain kita susah mengakuinya.
Karya kita tak kan pernah sempurna. Berarti pasti ada cacatnya. Ada kurangnya. Dan potensial selalu ada salahnya. Nah, kenapa kita susah menerima dan mengakui kesalahan atawa kekurangan? Ada adagium, setiap tuduhan pasti ada benarnya, tiap sanjungan pasti ada salahnya. Sering kita tidak jujur, tuduhan kita bantah tanpa maaf dan pengakuan. Sebaliknya, sanjungan sering kita telan mentah jadi racun yang melelahkan dalam diri.
Baca juga: “Kisah Haru Pak Yoga: Dari Bencana Menuju Harapan Baru“
Membela diri. Itulah kebiasaan respon awal yang paling umum dilakukan. Padahal membela diri adalah hilangnya kesempatan emas kita untuk memperbaiki diri. Gusti tidak akan membilangi kita secara langsung, namun lewat lisan-lisan hamba-Nya. Kita sering menyangka, dengan membela diri nama baik kita akan terjaga. Padahal sama sekali tidak ada hubungannya. Nama baik tidak ditentukan oleh penilaian orang lain. Nanti waktu yang akan menjelaskan segalanya bagaimana yang sesungguhnya.
Berita menarik lainnya: “Brace untuk Lazismu Jawa Tengah! Kembali Raih Penghargaan Lazismu Terbaik Nasional 2024“
Lalu apa yang kita lakukan ketika khilaf? Ya sampaikan saja permintaan maaf secara tulus. Salah satu bukti tulus adalah siap melakukan perbaikan. Mau menyampaikan permohonan maaf dan berkomitmen melakukan perbaikan kiranyanya sudah cukup. Nanti terserah sosial mau memberikan maaf atau sanksi sebagai kafaratnya. Sederhana itu, namun nyatalah ini perilaku yang amat langka. Memang, jujur harus dimulai pada diri sendiri.
Wallaahu a’lam.
Ikhwanushoffa